Karena ketiadaan kawasan konservasi di Kepulauan Natuna, kekah natuna akan segera punah akibat kehilangan habitat dan perburuan.
Ferdi N. Rangkuti *)
Kepulauan Natuna terletak di Laut Cina Selatan antara Semenanjung Malaysia, Borneo, Vietnam dan Kamboja. Pada gugusan Kepulauan Natuna, terdapat Pulau Natuna atau Bunguran Besar yang letaknya di bagian dengan koordinat 030 38’ – 040 15’ LU dan 1070 58’ – 1080 25’ BT. Luas pulau sekitar 172.000 ha, dengan panjang 65 km dan lebar 45 km.
Beberapa hewan endemik dapat ditemui di pulau ini. Kekah natuna Presbytis natunae, kukang Nycticebus coucang natunae, dan kera ekor-panjang Macaca fascicularis pumila adalah tiga primata endemik di P. Natuna. Selain itu, beberapa jenis hewan yang terancam punah seperti duyung Dugong dugong, penyu belimbing Dermochelys coreacea, dan buaya muara Crocodilus porosus juga terdapat di P. Natuna (Chasen, 1935).
Begitu pula dengan tumbuhan, P. Natuna kaya akan jenis-jenis tumbuhan, terutama pohon yang bernilai ekonomis tinggi dari jenis-jenis Dipterocarpaceae (Steenis, 1932). Pulau Natuna juga memiliki beragam tipe vegetasi, diantaranya hutan primer pegunungan, hutan kerangas, hutan rawa, dan mangrove. Sangat disayangkan, ternyata kekayaan keanekaragaman hayati di P. Natuna memiliki ancaman yang besar dan sangat serius.
Kekah natuna (Presbytis natunae), merupakan fauna yang mengalami ancaman paling besar dan serius. Salah satu ancaman terbesarnya adalah kehilangan habitat akibat konversi lahan dan perburuan. Selain itu, jenis primata endemik ini sangat dikenal oleh masyarakat Natuna, karena memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Kekah natuna dijual dengan harga antara Rp. 300.000,- hingga Rp. 800.000,- per ekor. Kekah yang masih muda memiliki nilai jual lebih tinggi, begitu juga kekah dewasa yang sudah terlatih atau jinak.
Banyaknya orang yang ingin memelihara kekah natuna ini, karena secara morfologi bentuknya sangat lucu, selain itu hewan ini juga mudah jinak, dan dianggap memiliki nilai prestisius bila memeliharanya. Beberapa orang yang memelihara kekah mengaku sangat mudah merawatnya, karena kekah mau diberi makan apa saja, seperti makanan yang biasa dimakan manusia (nasi, roti, susu, pisang, dan sayur-sayuran). Tentu saja banyak kasus kekah yang mati dalam pemeliharaan akibat konsumsi pakan yang tidak sesuai.
Selain itu, kekah juga diketahui banyak dibawa keluar pulau sebagai oleh-oleh atau hadiah, maupun untuk dijual. Transportasi yang digunakan biasanya kapal-kapal dagang di pelabuhan-pelabuhan lokal, ada juga yang menggunakan jasa pesawat militer. Cara seperti ini dianggap lebih aman, karena biasanya tidak melalui pemeriksaan yang berarti.
Disebabkan banyaknya permintaan dan harga jual yang relatif cukup tinggi, jumlah kekah yang diburu semakin banyak. Penelitian yang dilakukan oleh Tim PSBK UI selama 16 Juni hingga 2 Juli 2002, tercatat sebanyak 28 ekor Kekah pernah tertangkap dan dipelihara. Sebagian besar hewan tersebut akan dijual oleh pemiliknya. Dari hasil wawancara dengan beberapa orang yang pernah memelihara kekah natuna, hewan tersebut mudah mati dan tidak bertahan lama bila dipelihara. Selain karena pakan yang tidak sesuai, kemungkinan lain karena kekah mudah stres.
Jumlah kekah yang dipelihara baik yang terdata maupun yang tidak terdata, belum mewakili jumlah keseluruhan yang ditangkap/diburu. Biasanya untuk mendapatkan seekor kekah yang ditangkap adalah anaknya dengan cara menembak induknya. Selain dengan ditembak, primata ini ditangkap dengan cara dikejar dan diperangkap. Cara menangkap dengan dikejar biasanya dilakukan oleh penduduk lokal yang telah terbiasa berburu di hutan. Kekah betina yang terlihat menggendong seekor anak akan dikejar terus-menerus. Biasanya tidak terlalu lama, induk kekah akan melepaskan anaknya (diduga karena kekah mudah stress dan panik). Anak yang dilepaskan akan diam saja di suatu pohon, jika pohonnya digoyang-goyangkan dengan cukup keras disertai teriakan-teriakan, anak kekah tersebut akan melompat/terjun ke bawah, sehingga mudah ditangkap. Cara menangkap dengan perangkap dilakukan menggunakan perangkap kayu yang besar dan diletakkan di dekat kebun atau ladang.
Penduduk biasanya memasang perangkap untuk menjebak kera, yang memang hama nomor dua bagi ladang dan kebun mereka. Oleh karena itu, perangkap tersebut jarang diperiksa, sehingga pernah terjadi satu grup kekah, sejumlah 5 ekor, terperangkap mati dalam jebakan tersebut karena tidak mendapat makanan dan minuman.
Tidak hanya perburuan, kekah juga semakin terdesak karena permasalahan habitat. Hingga tahun 2000, penebangan liar di Natuna hampir menghabiskan hutan dataran rendah yang menjadi habitat kekah. Kini kekah lebih sering dijumpai di kebun karet tua yang telah menyerupai hutan sekunder. Sayangnya, kebun karet tersebut merupakan kebun yang sudah tidak produktif lagi, dan berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan, Kabupaten Natuna, kebun-kebun karet tersebut akan diremajakan atau diproduktifkan lagi dengan jenis tanaman baru. Hal ini semakin mempersempit habitat kekah yang tersisa.
Kekah natuna hanya ditemui di Pulau Natuna (Bunguran Besar) saja. Di pulau tersebut kekah tersebar dalam beberapa tipe habitat dan ketinggian (gunung tertinggi adalah Gn. Ranai 1.035 m dpl). Habitat yang dihuni Kekah Natuna antara lain, hutan primer pegunungan, hutan sekunder, kebun karet tua, daerah riparian, dan juga ditemui beririsan dengan hutan mangrove dan kebun campuran (Indrawan & Rangkuti, 2002). Sayang sekali, di kepulauan ini belum ada kawasan perlindungan (daerah konservasi). Selain itu, status endemisitas yang hanya terbatas pada satu pulau, ditambah perburuan yang tinggi untuk dipelihara dan dijual, serta belum ada usaha-usaha penyadartahuan masyarakat (public awareness), menyebabkan kekah natuna sangat terancam punah. Oleh karena itu, aksi perlindungan terhadap kekah natuna sangat mendesak untuk segera dilakukan. Bila tidak, dalam waktu dekat kekah natuna akan mengalami kepunahan, dan bumi akan kehilangan salah satu jenis primata endemiknya di Indonesia.
*) Peneliti pada Pusat Studi Biodiversitas dan Konservasi (PSBK) dan mahasiswa Program Pasca Sarjana, Biologi Konservasi, Universitas Indonesia (UI).
Referensi:
Chasen, F.N. 1935. On a collection of mammals from the Natuna Islands, South China Sea.
Bull. Raff. Museum 10: 5–42.
Indrawan, M. & Rangkuti, F.N. 2002. Development, biodiversity and the status of Banded Leaf
Monkey in Natuna Islands, South China Sea. Tropical Biodiversity 7(2-3): 151–63.
Steenis, C.G.G.J. van. 1932. Botanical results of a trip to the Anambas and Natoena Islands. Serie III. Bulletin Jard. Bot. Buitenzorg 12(2): 151–211.
Sumber:
http://www.conservation.or.id/tropika/tropika.php?catid=52&tcatid=159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar