POTENSI NATUNA memang luar biasa. Potensi minyaknya hampir 6 kali lebih banyak dibandingkan potensi Tangguh. Dari sisi nilai ekonomisnya, saat harga minyak dunia mencapai US$ 80/barel, Natuna mampu mengeruk penghasilan sekitar Rp6000 triliun. Apalagi dalam kondisi sekarang ini, harga minyak dunia terkerek naik menjadi US$ 90/barel, jelas berdampak positif terhadap Matuna. Nilai hasil produksinya bisa terdongkrak melonjak mencapai Rp6750 triliun. Sebuah angka menakjubkan, yang tentunya mampu mensejahterahkan rakyat republik ini.
Angka sebesar itu menjadi sebuah kenyataan, jika Natuna dikelola secara transparan, apalagi dikelola anak bangsa yang sudah memiliki kemampuan, memiliki profesionalisme dan memiliki hati yang lebih dalam mengelola kekayaan alam demi negerinya sendiri.
Sayangnya, pemerintah tak mau melakukan itu. Buktinya, pemerintah kembali menunjuk Exxon Mobile gandeng Total Indonesia dan Petronas untuk menjadi patner Pertamina, dalam mengelola pengembangan blok Natuna Timur, yang dulunya bernama Natuna D-Alpha.
Penunjukan itu sudah direalisasi melalui penandatangan Head of Agreement (HoA) pada 3 Desember 2010, dilanjutkan 17 Desember 2010. Lho, Ada apa ini? Apa untuk persiapan menjelang Pemilu 2014 yang tinggal dua tahun lagi?
"Padahal, penunjukan Exxon ibarat keledai yang sudah jatuh kedua kalinya. Mengingat, perusahaan ini sudah pernah menipu, mencundangi, mencurangi Negara Republik Indonesia dengan menerapkan pola bagi hasil pada kontrak Natuna pada tahun 1980-an. Ditetapkan pola bagi hasil, ternyata 100% untuk Exxon Mobille : 0% pemerintah RI. Selayaknya perusahaan ini, di black list, bukan malah diberi kesempatan lagi," ungkap Marwan Batubara dari Indonesian Resources Studies (IRESS) di Jakarta, kemarin.
Pola curang seperti ini, sambung Marwan, lumrah dilakukan negara-negara penjajah di penjuru dunia. Kita memahami tingginya kandungan CO2 memerlukan biaya ekstra untuk memisahkannya. Sehingga pola bagi hasil 70% : 30% dapat saja tidak relevan. Namun biaya ekstra itu, tidak demikian besar. Malah penerimaan negara berubah dari 70% menjadi 0%! Biaya ekstra itu, pasti jauh lebih kecil dibanding pendapatan yang seharusnya diterima negara.
Biaya pemisahan CO2 seharusnya didanai menggunakan pendapatan gas yang diproduksi, tanpa merubah pola umum bagi hasil 70% : 30%. Informasi di lapangan, biaya operasi pemisahan CO2 yang menggunakan proses absorpsi atau membran berkisar 2% hingga 10% dari gas yang diproduksi. Hal ini dapat diamati pada ladang Grissik, yang dioperasikan Conoco-Phillips atau ladang Sleipner di Norwegia yang dioperasikan oleh Statoil. Disamping memisahkan CO2, ladang Statoil juga menyimpan, mengasingkan CO2 ratusan meter di aquifer bawah dasar laut.
Dengan demikian, sangat absurd dan aneh jika pemerintah masih juga memberi kesempatan kepada Exxon Mobil, yang telah bersikap sebagai penjajah dan berencana menghisap kekayaan negeri ini di Natuna.
"HoA masih merupakan kesepakatan awal menuju kontrak kerja sama (KKS) yang permanen. Namun kami sangat prihatin atas penetapan Exxon, sebagai salah satu mitra Pertamina. Kami juga khawatir yang ditunjuk jadi operator bukan Pertamina tapi Exxon," papar Marwan serius.
Mengingat berdasarkan pengalaman Cepu, lanjut dia, Dirut Pertamina saat itu menyatakan siap menjadi operator. Sayangya pemerintah malah berpihak pada Exxon. Kini, Dirut Pertamina kembali menyatakan siap menjadi operator Natuna, tapi pemerintah belum mengukuhkannya.
Dijen Migas pernah mengatakan, Pertamina ditunjuk pemerintah untuk mencari patner, bukan untuk jadi operator. Apakah sejarah akan berulang, bahwa Presiden SBY tunduk kepada pemerintah Amerika? Apakah pemerintah saat ini masih menjadi boneka asing? Menyedihkan memang jika hal itu benar adanya, tandas mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Selama ini, sikap pemerintah terkait Natuna dapat ditelusuri dari berbagai pernyataan pejabat yang tidak konsisten. Malah sebagai bentuk ketidakberdayaan terhadap asing, utamanya Amerika.
Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada 25 Januari 2007 pernah mengatakan: “Sejak Januari 2007 pemerintah menetapkan Blok Natuna D-Alpha sebagai wilayah terbuka migas”. Pernyataan ini langsung dibantah lantang VP Exxon, Maman Budiman bahwa Exxon mengklaim masih merupakan operator Natuna.
Melalui surat No. 3588/11/MEM/2008, tertanggal 2 Juni 2008 Menteri ESDM menunjuk Pertamina untuk “mengelola” Natuna. Dirut Pertamina, Ari Soemarno pun menyatakan butuh kejelasan tentang status Exxon Mobile yang menangani Natuna. “Terutama soal hukumnya, sudah selesai apa belum, karena ada pihak yang mempermasalahkan itu”.
Atas keraguan Dirut Pertamina ini, Menteri ESDM malah menegaskan “Apa yang perlu dipertanyakan lagi? Keputusan menyerahkan blok itu ke Pertamina sudah melalui sidang kabinet yang dipimpin Presiden SBY, dan ada surat Menteri ESDM”.
Keraguan Dirut Pertamina memang beralasan, karena setelah terbitnya surat penunjukan Pertamina, Exxon Mobile masih pede bersikap sebagai operator. Ditambah lagi dengan dibuktikannya penyerahan Plan of Development (PoD) Natuna kepada BP Migas pada tanggal 30 Desember 2008.
Sikap confidence Exxon Mobile menyerahkan PoD diiringi pernyataan Maman Budiman bahwa Exxon Mobile masih berhak di Natuna. Sesuai kontrak Natuna PSC, pengajuan PoD adalah langkah sebelum deadline berakhir. Kenapa Maman begitu yakin?
Ternyata Exxon Mobile memang masih diakui sebagai operator Natuna. Buktinya, Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, tanggal 2 Januari 2009, Kepala BP Migas mengakui Exxon diberi perpanjangan kontrak pada Januari 2007 dan berikutnya pada Januari 2008.
Dengan demikian, tidak salah jika Dirut Pertamina ragu melakukan aksi-aksi korporasi. Meskipun Purnomo mengatakan sudah ada penunjukan melalui Kepmen No. 3588 bahkan kesepakatan sidang kabinet yang dipimpin Presiden SBY.
Akrobat pernyataan pejabat itu, dapat diartikan sebagai penyembunyian informasi, sekaligus bentuk ketundukan kepada asing. Sehingga, tidak mengherankan jika akhirnya pemerintah melanjutkan dukungan pada Exxon Mobile, dan memerintahkan Pertamina memilih Exxon Mobile sebagai patner dengan
penandatanganan HoA pada tanggal 3 Desember 2010.
Jadi, kenapa pemerintah tidak segera menunjuk Pertamina sebagai opertor Natuna? Ternyata, disamping melanggar kosntitusi, juga hal ini tidak sesuai visi dan program pemerintah yang ingin membesarkan Pertamina.
Keengganan menunjuk Pertamina ini sama seperti yang terjadi pada Blok Cepu (2006). Saat itu, Dirut Pertamina menyatakan sanggup menjadi operator Cepu, namun yang ditunjuk adalah Exxon Mobile.
Sekarang Dirut Pertamina Karen Agustiawan pun telah menyatakan kesiapan Pertamina memimpin eksploitasi Natuna. Namun sikap pemerintah tampaknya sama seperti pada Blok Cepu.
Dirjen Migas, Evita H. Legowo mengaku tidak bisa memutuskan permintaan Pertamina menjadi pemegang saham mayoritas Natuna. Pemerintah tidak pernah menunjuk Pertamina sebagai operator. Suratnya (maksudnya Surat No.3588) diserahkan kepada Pertamina untuk cari patner. Tak disebut masalah operator.
"Dengan pernyataan ini saya khawatir, yang akhirnya kelak ditunjuk sebagai operator adalah Exxon Mobile. Jika demikian, jelas amanat konstitusi diabaikan dan kebijakan membesarkan national oil company (NOC) sebagaimana berlaku di seluruh dunia, tidak berlaku pada Pertamina," sambung Marwan.
Seorang pejabat pemerintah pernah menyatakan Exxon Mobile perlu dijadikan mitra di Natuna, karena situasi geopolitik dan kepentingan keamanan. Jangan-jangan kekhawatiran ini, sengaja disebarkan untuk menjustifikasi penunjukan Exxon Mobile.
Namun terlepas dari itu, Natuna bukanlah wilayah sengketa yang diperebutkan banyak negara seperti halnya Kepulauan Spratly. Selain itu, Indonesia adalah negara berdaulat yang mempunyai wilayah dan batas negara yang jelas.
Kita juga memegang sikap poilitik yang bebas dan aktif. Adalah hak kita melakukan apa saja dan berpatner dengan siapa saja dalam wilayah negara kita, tanpa tergantung pada negara lain. Dengan demikian, secara geopolitis, pemerintah seharusnya tidak punya alasan apapun untuk tunduk dan mengikutsertakan Exxon Mobile mengelola Natuna.
Sebaliknya pernyataan Exxon Mobile bahwa eksploitasi akan berlangsung sekitar 30 tahun harus digugat. Kita menginginkan Natuna dieksploitasi dengan memperhatikan aspek-aspek keekonomian, kelestarian lingkungan dan etika berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Gas Natuna terutama harus dialokasikan untuk domestik. Dengan potensi sebesar 46 tcf (46.1012 x 1/5.487 barel oil equivalent, boe x US$80/boe = US$ 670.68 billion = Rp 6036,08 triliun), seharusnya Natuna dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik, minimal selama 92 tahun (laju produksi 0,5
tcf atau 500 bcf per tahun).
Prinsip kuras sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya seperti berlaku di Arun atau Badak, sudah bukan jamannya lagi untuk diterapkan karena hanya menguntungkan kontraktor dan menyisakan kemiskinan bagi daerah penghasil dan generasi mendatang.
Seharusnya kita punya komitmen mendukung pemerintah agar berani menegakkan kedaulatan negara dan harga diri bangsa. Juga kita tidak rela negara ini terus diremehkan asing, sebagaimana sebuah harapan kita tidak berharap pemerintah SBY bersikap lemah kepada asing. Semoga. (endy)
Sumber :
http://www.kabarbisnis.com/makro/Indepth/2817365-Natuna__kok_nunjuk_asing_lagi__Ada_apa_nih_.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar